Polemik RUU PKS
Apasih kekerasan seksual itu ? Kekerasan seksual adalah segala perbuatan berupa aktivitas seksual atau ajakan seksual yang dilakukan secara paksa atau bertentangan dengan kehendak seseorang tanpa persetujuan, yang dilakukan seseorang terhadap individu lainnya, biasanya oleh orang dewasa terhadap seorang yang lebih muda (yang dinilai kurang kuat atau lemah untuk melawan). Yang dapat menimbulkan penderitaan baik secara fisik, psikis, dan sosial. Pelecehan dan kekerasan seksual saat ini marak terjadi, banyak kasus tercatat dari berbagai kalangan usia, terlebih kasus ini sering menimpa kaum perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada periode 2001-2011 rata-rata dalam satu hari 35 perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat sebagian besar tidak dikenal oleh Hukum Pidana Indonesia, kekosongan hukum ini menyebabkan pelaku bebas dari jeratan hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan. Aspek khas dari kekerasan seksual yang selalu dikaitkan dengan wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan, rasa keadilan, dan jaminan ketidak perulangan.
Sejak tahun 2012 Komnas Perempuan bersama berbagai organisasi pengadalayanan bagi perempuan korban kekerasan, telah menggagas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU PKS berawal dari keprihatinan atas sistem hukum yang belum sepenuhnya memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, serta berguna untuk memberi perhatian pada hak-hak korban atas pencegahan, penanganan, dan pemulihan. Dimana aturan yang ada saat ini justru diterapkan secara "kaku" ketika memberi perlindungan pada para pelaku atau tersangka. Menurut Komnas Perempuan, hukum pidana Indonesia mengenai pemerkosaan terbatas pada penetrasi alat kelamin laki-laki ke vagina, prosedur pembuktiannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) terkesan masih membebani korban pelecehan seksual yang hanya diatur dalam pasal tentang perlakuan tidak menyenangkan, hal ini disebabkan kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat, sementara menurut KUHP harus ada saksi mata dan bukti sehingga banyak proses hukum kasus kekerasan seksual yang tidak bisa diproses lebih lanjut, sehingga peraturan KUHP hanya berfokus pada pemidanaan pelaku dan dinilai belum dapat melindungi korban. Kondisi ini tentu menuntut kehadiran peraturan yang tegas dan berpihak pada korban kekerasan seksual, dan disinilah peran RUU PKS dibutuhkan
Awal mula kelahiran RUU PKS
Embrio substansi pengaturan tentang RUU PKS telah lahir sejak 2010, akibat maraknya kasus kekerasan seksual. Lalu muncul ide untuk menggagas RUU PKS pada 2012, yang kemudian pada 2014 Naskah Akademik dan draf RUU PKS mulai disusun oleh Komnas Perempuan yang bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan (FPL), RUU ini diusulkan dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Dan berlanjut di dua tahun berikutnya, pada tanggal 26 Januari 2016 Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik RUU PKS ke DPR dan masuk dalam daftar Prolegnas. Akan tetapi, sampai 2018 RUU tak kunjung dibahas, sehingga menimbulkan aksi pawai akbar "Sahkan RUU PKS” yang digelar di kawasan Sarinah hingga Taman Aspirasi. Dan akhirnya pasa 2 Juli 2020, RUU ini ditarik dari Prolegnas Prioritas, usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII. Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang, yang mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan karena terbentur mengenai definisi kekerasan seksual dan aturan pemidanaan. Menurut anggota Komisi VIII dari fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka, keputusan mengeluarkan RUU ini dari Prolegnas bukan pernyataan Komisi VIII, karena tidak ada rapat untuk memutuskan itu, dan itu merupakan pernyataan pribadi Marwan Dasopang. Menurut Diah, meski dikeluarkan dari Prolegnas di tahun 2020, RUU PKS akan masuk Prolegnas 2021 yang akan dibahas oleh Badan Legislasi DPR (Baleg). Namun hingga kini, masih belum ada kabar kelanjutan mengenai RUU PKS ini, hal ini disebabkan pembahasan RUU PKS seringkali diwarnai kontroversi baik di kalangan masyarakat maupun di tingkat DPR. Salah satunya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang menolak RUU PKS dengan alasan ada potensi pertentangan antara isi dari RUU dengan nilai-nilai Pancasila dan agama, yang dinilai akan memunculkan polemik di masyarakat. Definisi kekerasan seksual hingga cakupan jenis kekerasan seksual di RUU tersebut dianggap berperspektif liberal yang mengarah kepada LGBT yang akan merusak nilai Pancasila dan melanggar norma Agama, hal ini menimbulkan banyak berita palsu (hoax) atau spekulasi mengenai RUU PKS yang lebih lanjut melahirkan pro dan kontra. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, Jazuli Juwaini, mengatakan mereka sangat berkomitmen memberantas kejahatan seksual, serta menginginkan adanya perubahan nama dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual, dengan mengindikasikan bahwa pasal-pasal didalamnya tidak boleh mengarah pada bentuk perlindungan terhadap penyimpangan seksual.
Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, mengatakan RUU PKS penting untuk mengatasi kekerasan seksual yang masih tinggi di Indonesia, juga untuk menjadi dasar bagi negara untuk memberikan reparasi atau pemulihan bagi korban kejahatan.
Dalam RUU PKS, terdapat 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual, yaitu :
- Perkosaan
- Pelecehan Seksual
- Eksploitasi Seksual
- Pemaksaan Kontrasepsi
- Pemaksaan Aborsi
- Pemaksaan Perkawinan
- Pemaksaan Pelacuran
- Perbudakan Seksual
- Penyiksaan Seksual
Urgensi diperlukannya RUU PKS.
Mengapa RUU PKS ini diperlukan? karena saat ini kondisi kekerasan seksual di Indonesia sangat membahayakan, jumlah kekerasan terhadap perempuan yang meningkat di tahun 2017 tidak serta merta menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan semakin bertambah. Justru, kenaikan ini mengindikasikan bahwa semakin banyak penyintas yang berani melapor. Berdasarkan Catatan Tahunan 2018, dari 13.384 data yang masuk ke Komnas Perempuan dari 237 lembaga mitra pengada layanan, 71% kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah privat, dan 31%-nya berupa kekerasan seksual. Sementara itu, dari 29% kekerasan yang terjadi di ranah publik/komunitas, sebanyak 76% berbentuk kekerasan seksual. Ranah privat meliputi lingkungan rumah tangga dan berpacaran, sementara itu ranah publik atau komunitas meliputi lingkungan kerja, lingkungan bermasyarakat, bertetangga, dan lembaga pendidikan. (Sumber: Catahu Komnas Perempuan 2018). Korban kekerasan seksual ini bisa siapa saja, pelakunya pun bisa siapa saja. Dari survei yang dilakukan Komnas perempuan, ternyata pelakunya paling banyak adalah pacar. Sayangnya, tak jarang kasus kekerasan dalam pacaran ini dianggap perzinahan sehingga korban rentan terkena hukuman dan juga dianggap "Suka sama suka". Pelaku kekerasan seksual tidak mengenal jabatan dan status sosial tertentu, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Rumah sendiri pun tidak aman, sebab tak jarang pelaku bisa berasal dari orang yang tinggal serumah.
Salah satu teori sosiologi yang dapat digunakan akibat maraknya kekerasan seksual adalah teori anomie, teori ini diperkenalkan oleh Emile Durkheim, yang menggambarkan keadaan yang kacau tanpa peraturan, dalam hal ini adalah ketiadaan undang-undang yang jelas mengatur tindakan kekerasan seksual. Kata anomie ini berasal dari bahasa Yunani yakni a artinya "tanpa", dan nomos artisnya "hukum" atau "peraturan". Saat ini perubahan sosial terjadi begitu cepat sehingga menimbulkan anomie, kemajuan perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat siapa saja bisa mengakses informasi di internet, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa yang mempunyai banyak manfaat positif. Namun, terkadang adapula dampak negatif yang ditimbulkan, salah satu hal yang dapat diakses di internet adalah film atau konten video porno, dengan mudahnya mengakses hal tersebut dapat menimbulkan dorongan kepada individu untuk melakukan tindakan kekerasan seksual, dan dapat membuat seseorang melakukan tindakan seksual kepada orang lain dengan cara yang tidak sah atau paksaan yang melanggar nilai dan norma. Ini merupakan Streisand effect, efek ini merupakan contoh reaktansi psikologis yaitu kondisi ketika masyarakat sadar bahwa ada informasi yang disembunyikan, tetapi mereka akan berusaha mengaksesnya dan menyebarkannya, seperti upaya mereka untuk mencari tahu bagaimana caranya menemukan celah untuk menonton video porno tersebut.
Selama ini para korban kekerasan seksual ini tidak mendapat perlindungan hukum, pasal-pasal tentang kesusilaan dalam KUHP dipandang semata-mata persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama atau sopan santun dalam masyarakat, sehingga yang diperjuangkan adalah kesusilaan masyarakat, bukan keadilan bagi korban. Padahal hal ini merupakan pelanggaran terhadap eksistensi diri manusia baik dalam kehidupan pribadinya maupun terhadap kehidupan bermasyarakat. Diusulkannya RUU penghapusan kekerasan seksual (PKS) merupakan upaya mengevaluasi sistem hukum, serta mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap para korban terutama perempuan. Ini merupakan terobosan agar hukum dapat menangani, melindungi dan memulihkan psikis korban. Dan juga menindak tegas dan memidanakan pelaku seadil-adilnya, sebagai upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual, karena RUU PKS ini didasarkan pada kajian terhadap pengalaman-pengalaman korban kekerasan dan bagaimana mereka menghadapi proses hukum. Untuk itu mari kita melawan segala bentuk tindakan kekerasan seksual, dan menuntut pengesahan RUU PKS ini, sebab korban butuh perlindungan atas hak-haknya. Dan terlebih perempuan itu ada untuk dikasihi, bukan disakiti.
Mohon maaf apabila ada kesalahan kata dan informasi yang kurang akurat, untuk saran dan kritik bisa ditambahkan lewat kolom komentar, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Hidup korban, jangan diam lawan!
Komentar
Posting Komentar