CATAHU 2020 : Perempuan dan Peradilan

Dalam CATAHU (Catatan Tahunan) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dari hampir semua Provinsi di Indonesia, yakni dalam kurun waktu satu tahun ke belakang antara tahun 2019-2020. Tingkat respon pengembalian meningkat sebesar 6% sekitar 431.471 kasus pada tahun 2019, dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 406.178. Data ini dihimpun dari 3 sumber yakni Dari Pengadilan negeri/Pengadilan Agama, Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR).

Berdasarkan data yang terkumpul, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol yaitu KDRT/di ranah personal yang mencapai angka 75% (11.105 kasus), ranah personal paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua yakni di ranah komunitas/publik dengan persentase 24% (3.602 kasus) dan terakhir adalah di ranah negara dengan persentase 0.1% (12 kasus).

Pada ranah personal kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.783 kasus, kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus, psikis 2.056 kasus dan ekonomi 1.459 kasus. Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.602 kasus, 58% kekerasan terhadap perempuan di ranah ini meliputi Pencabulan 531 kasus, Perkosaan 715 kasus dan Pelecehan Seksual 520 kasus, persetubuhan 176 kasus, sisanya adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan. Di ranah negara, kasus yang dilaporkan sejumlah 12 kasus, data ini berasal dari WCC (Women Crisis Centre) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Kasusnya antara lain yaitu kasus penggusuran, intimidasi kepada jurnalis, pelanggaran hak administrasi kependudukan, kasus pinjaman online, dan yang lainnya.

Pada kekerasan di ranah personal yang seringkali menjadi korban yaitu istri dan anak, ini memperlihatkan bahwa menjadi perempuan di dalam rumah bukan lagi hal yang aman. Sebab pelaku utamanya tak lain adalah ayah, kakek, paman bahkan pacar. Kebanyakan korban cenderung diam dan enggan untuk melaporkan, karena tidak memiliki keberanian yang lebih untuk melaporkan orang terdekatnya.

Sedangkan kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas biasanya terjadi di lingkungan kerja, bermasyarakat, bertetangga, ataupun lembaga pendidikan. Kasus yang sering muncul yaitu perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual. Banyak kasus berita tentang pencabulan seorang guru terhadap anak muridnya, yang menjadikan siswa sebagai tumbal nafsu bejatnya, bahkan tidak hanya satu korban melainkan belasan atau puluhan. Dan yang terakhir yaitu kasus di ranah negara yang terbagi menjadi dua yaitu act of commission atau pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen HAM yang dilakukan dengan perbuatannya sendiri. Negara menjadi pelaku langsung, seperti 2 kasus yang dilaporkan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia yaitu serangan kepada jurnalis ketika melakukan liputan yang dilakukan oleh aparat hukum, lalu beberapa kasus kekerasan fisik berupa pemukulan yang dilakukan oleh oknum Satpol-PP ketika terjadi penggusuran dan sengketa tanah, tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang, dan sebagainya. Lalu yang kedua adalah Act of Ommission atau pembiaran-tindakan untuk tidak melakukan apapun yang berarti pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen HAM yang dilakukan oleh karena kelalaian dari suatu negara. Contoh kasusnya seperti pelanggaran hak dasar, kesulitan mengakses hak kesehatan berkaitan dengan BPJS dan pelanggaran hak administrasi kependudukan.

Latar belakang pelaku juga patut diperhatikan misalnya pendidikan, sebagaimana data kekerasan seksual paling banyak pelakunya adalah pacar, dimana rata-rata terjadi pada usia muda, maka pendidikan seksualitas sangat penting untuk mengurangi jumlah pelaku dan korban. Selain itu keseharian pelaku juga menjadi faktor penting, pelaku yang tidak bekerja rentan dan sangat berpotensi menjadikan ia sebagai pelaku, belum lagi kebiasaan meminum alkohol hingga pemanfaatan teknologi modern yang salah seperti menonton video porno. Data tentang latar belakang di atas menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam keadaan apapun, ketika pelaku sudah gelap mata maka apapun bisa terjadi.

RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang menjadi rancangan undang-undang tentang keadilan bagi korban kekerasan seksual telah di gagalkan pengesahannya, sebab RUU PKS dianggap tidak sesuai dengan Pancasila dan nilai-nilai agama tertentu, melegalkan pelacuran, aborsi, mendukung kelompok LGBT, dan permasalahan penggunaan arti bahasa atau terminologi ‘kekerasan seksual’ ketimbang ‘kejahatan seksual’. Diskusi publik tentang RUU PKS terkendala oleh salah satu fraksi di DPR RI yang menolak pengesahan RUU PKS, hal ini membuat para korban kekerasan seksual tidak mendapatkan hak keadilan korban.

Sekian pembahasan singkat mengenai isi dari CATAHU 2020 tentang kekerasan terhadap perempuan. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam pengetikan kata, ringkasan ini dibuat untuk pemenuhan tugas kuliah untuk mata kuliah Perempuan dan Peradilan dengan Dosen pengampu Ibu Yani Osmawati. Terima kasih dan Salam Budi Luhur.

 

Nama : Muhammad rizkillah alfikri

NIM : 2043500285

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stadion Old Trafford

Biografi Mesut Özil