Kasus rasisme terhadap orang Papua



Berbicara mengenai rasisme tak bisa lepas dari sistem perbudakan yang memiliki sejarah kelam dalam peradaban manusia, rasisme dan perbudakan berkaitan erat sebab tindakan rasisme lahir dari rahim perbudakan. Meskipun manusia kini telah memasuki era modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, praktek perbudakan dan rasis tetap ada dan dipertontonkan dalam kehidupan sosial. Budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja dengan gaji minim atau bahkan tanpa upah serta tidak mempunyai hak asasi manusia. Seorang budak dituntut patuh melayani tuannya apapun kapanpun dimanapun, tak ada kata iba dan dilarang membantah, hidup ditindas seperti inilah yang menggambarkan rasisme.

Apa itu rasisme? rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya (Wikipedia).

Dan bagaimanakah kasus rasisme di Papua terjadi? lalu apakah rasisme tersebut muncul begitu saja? Apakah yang diberitakan dalam berbagai media Indonesia benar adanya? saya akan memaparkan secara singkat dan jelas tentang kasus rasisme di Papua, mari disimak ...


Rasisme ditanah Cendrawasih.

Rasisme yang terjadi di Papua tidak bisa dilepaskan dari nuansa politis saat ini, dalam perjuangan rakyat Papua sebagai bagian dari bangsa yang merdeka sudah mengalami tindakan diskriminatif hampir diseluruh lini kehidupan sehari-hari. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini tidak dapat diproses secara hukum, praktik hukum di Indonesia seakan tidak berlaku bagi rakyat Papua. Ketika tanah nenek moyangnya dirampas, pohon sagunya ditebang untuk tambang, harkat dan martabatnya dihina dengan tindakan kekerasan atau pun pembunuhan oleh oknum tertentu baik sipil maupun militer, tak ada hukuman bagi pelakunya. 

Kehidupan layak yang aman pun menjadi terancam bagi rakyat Papua ditanah leluhurnya sendiri, hidup bagaikan kegelisahan dan kekhawatiran setiap harinya. Ini merupakan cara negara mengontrol Papua dengan dasar superioritas tadi. Jangankan tindakan melanggar hukum, tidak melanggar pun seringkali ditangkap dan diadili, diproses hukum dengan tuduhan-tuduhan buatan yang tidak masuk akal. Hasil akhir pengadilan pun memvonis masuk penjara sekian bulan bahkan bertahun-tahun. 

Pembangunan yang terjadi di Papua oleh pemerintah semata-mata hanya untuk investasi belaka, contohnya seperti Freeport yang dahulu sebagian sahamnya dimiliki oleh Amerika sekian persen. Mengapa pemerintah tidak memberikan hak dasar pendidikan kepada anak-anak Papua, fasilitas kesehatan.yang layak, jaminan ekonomi, pengembangan pariwisata dan lainnya. Tetapi justru Pemerintah mengirim pasukan keamanan baik dari satuan Brimob maupun TNI ke Papua daripada mengirimkan tenaga guru, perawat, dokter atau juga membuka akses wartawan sebagai fungsi kontrol untuk menyelamatkan masa depan Papua. 


Ujaran kebencian dengan sebutan binatang.

Orang Papua dengan postur tubuh besar dan kulit gelapnya seringkali mendapatkan perkataan yang kurang sedap didengar, mungkin kita abai karena menyebutnya candaan atau gurauan saja. Tetapi tidak, ejekan tersebut dapat menyinggung perasaan mereka, seringkali mereka dipanggil dengan sebutan "monyet, gorila, atau babi" entah itu sedang di tempat umum ataupun media sosial. Orang yang bukan asli Papua pun seringkali mendapatkan perlakuan demikian, padahal mereka tak berasal dari Papua. Kebiasaan mencela seperti ini adalah penyakit buruk manusia, tak heran sering terjadi perdebatan dan pertengkaran dalam hal ini.

Fakta tentang ujaran rasis yang terkesan biasa dan masif, ini memperlihatkan ada semacam ideologi terselubung dalam pola pikir masyarakat Indonesia. Ideologi yaitu seperangkat ide atau gagasan yang membentuk keyakinan dan paham untuk mewujudkan cita-cita manusia. Karena itu ideologi seringkali muncul spontan saja karena sudah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dengan adanya ideologi itu, ketika berjumpa dengan orang Papua yang terlintas dalam benak mereka adalah hal-hal negatif dan bahkan dianggap binatang. Tetapi lebih dari itu sebagai suatu pandangan, ideologi itu termanifestasi dalam ideologi pembangunan yang diurai tadi. 


Bentuk aksi demonstrasi besar-besaran rakyat Papua

Kasus rasisme di Surabaya pada Agustus 2019 merupakan puncak kemarahan dan penolakan rakyat Papua terhadap kasus rasisme yang mereka alami selama ini, mereka marah karena sudah bertahun-tahun lamanya telah mengalami tindakan rasisme dan diskriminatif dalam berbagai lini kehidupan dan pembangunan. Bahkan harga nyawa mereka pun menjadi rendah dengan jargon NKRI harga mati, toh bukankah Papua juga merupakan bagian dari NKRI? melihat kasus mantan BEM Uncen "Ferry kombo" yang dipenjara atas tuduhan makar, ditangkap karena diduga mengkoordinir aksi demonstrasi pada Agustus 2019 lalu yang bertujuan menentang aksi rasisme di Surabaya, yang sudah jelas kejadian rasisme itu adalah perbuatan buruk tetapi hukum berkata lain.

Sejumlah aksi demonstrasi dilakukan diberbagai tempat, bahkan berujung kericuhan dan bentrokan. Hingga aksi pembakaran, aksi demonstrasi berujung ricuh terjadi mulai dari Sorong, Manokwari, Fakfak, hingga Jayapura. Gedung DPRD Manokwari ludes dibakar, Lapas Sorong dibakar, Lapas Abepura dijebol, kantor Telkom juga dibakar, bahkan bandara Sorong dirusak massa. Ini adalah bentuk kemarahan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia, korban pun berjatuhan dan beberapa orang akhirnya mengungsi ke tempat yang lebih aman.


Papua dimata negara tetangga 

Pada sidang PBB tanggal 27 September 2020, salah satu negara Pasifik yakni Vanuatu berkomentar terkait kasus HAM di Papua. Vanuatu merupakan salah satu negara di Pasifik yang memang vokal menyoroti dugaan pelanggaran HAM di Papua. Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman sebelumnya menyebut bahwa dugaan pelanggaran HAM di Papua menjadi perhatian khusus negara-negara Pasifik yang menyeru agar Indonesia mengizinkan Dewan HAM PBB mengunjungi Papua.

Vanuatu diminta untuk berhenti mencampuri urusan Papua, hal itu ditegaskan Indonesia saat menggunakan hak jawab di sidang Majelis Umum PBB yang disampaikan oleh diplomat Silvany Austin Pasaribu. Silvany menanggapi Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman yang menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua, dan masih berlanjut hingga saat ini.

Ini juga bukan pertama kalinya Vanuatu mengangkat isu Papua di rapat PBB. Pada sidang rutin Dewan HAM PBB ke-34 pada 2017 lalu, Vanuatu dan enam negara lainnya menuturkan kekhawatiran terkait dugaan marginalisasi dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua.

Apalagi dengan kasus rasisme yang terjadi di Amerika, atas kematian "George Floyd" yang membuat warga Amerika bahkan seluruh dunia geram. Dengan tagar #blacklivesmatter mereka menyuarakan kebebasan dalam hak asasi manusia, khususnya orang dengan kulit hitam. Tentu hal ini juga terdengar sampai Indonesia, dan seperti hal nya narasi sebelum-sebelumnya tentu rakyat Papua pun ingin adanya keadilan terhadap apa-apa yang terjadi. 


Tertembaknya Pendeta Yeremia

Baru-baru ini terjadi kasus penembakan seorang pendeta Yeremia Zanambani. Pendeta Yeremia tewas di Distrik Hitadipa Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua pada 19 September 2020. 

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyampaikan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya. Hasilnya, TGPF menemukan adanya dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam penembakan. Pak Mahfud memastikan pemerintah akan menyelesaikan kasus ini sesuai hukum yang berlaku baik pidana maupun administrasi negara. Untuk tindak pidana, pemerintah meminta Polri dan Kejaksaan menyelesaikan kasus ini sesuai hukum yang berlaku tanpa pandang bulu.


Upaya penanganan masalah Papua secara menyeluruh untuk menciptakan kedamaian.

Pemerintah perlu mendorong tim penyelidikan dan pengungkapan fakta pelanggaran HAM Papua, langkah ini penting untuk memulai dan membangun kepercayaan diri terhadap rakyat Papua kepada pemerintah. Dengan langkah ini, rakyat  Papua juga akan semakin percaya bahwa harkat dan kemanusiaan mereka diperhatikan secara serius. Dan juga perlu adanya pembangunan dalam segi infrastruktur yang sudah disebutkan diawal tadi, serta perbaikan secara psikologis untuk orang-orang Papua supaya tak ada lagi  keresahan dalam diri rakyat Papua.

Entah sampai kapan kasus rasisme dan HAM di Papua akan berakhir, namun harapan itu tetap ada dan semoga kita semua bisa belajar untuk saling memahami perbedaan dan hidup dalam keberagaman yang satu yakni Indonesia.


Analisis

Menangani kasus di Papua tidak mudah dan tidak bisa langsung dengan langkah represif, sebab ketika menangani pelaku teror dengan latar belakang ideologi, aparat keamanan mempunyai dasar hukum yang jelas yaitu UU No 5 Tahun 2019 tentang Anti terorisme. Aparat keamanan juga didukung oleh dunia internasional mengingat teroris sudah dipahami sebagai musuh bersama. Banyak negara sudah mengalami aksi teror dan menderita kerugian dan korban jiwa akibat aksi teror.

Namun kasus yang terjadi di Papua berbeda konteks dengan kasus terorisme oleh kelompok, isu tentang HAM bahkan rasisme dipropagandakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab. Bahkan beberapa negara di kawasan pasifik secara lantang menyeruarakan agar Indonesia mengizinkan Dewan HAM PBB mengunjungi Papua, guna melihat kondisi yang terjadi di Papua. Selain itu diduga ada negara besar yang mempunyai kepentingan terhadap Papua terutama untuk menguasai sumber daya alamnya, yang dimaksud adalah investor yang hendak mengeruk kekayaan alam di tanah cendrawasih ini.

Berbagai kasus unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia terkait isu Papua yang hampir secara serentak terjadi tidak bisa hanya dianggap permasalahan karena faktor domestik. Papua menjadi panas, bahkan hingga merambat ke kota-kota lain di luar pulau Papua. Pemerintah perlu hati-hati dalam menangani kasus Papua, namun pemerintah juga tidak boleh terlihat lemah terutama jika sudah menyangkut kedaulatan negara. Unjuk rasa yang menggunakan simbol-simbol bertentangan dengan kedaulatan negara harus dicegah dan harus ditindak tegas.

Hal yang dapat kita lakukan sebagai rakyat Indonesia terhadap kasus di Papua adalah :

1. Maraknya hoax yang beredar di masyarakat luas, adalah salah satu musuh utama dalam berbagai permasalahan tak hanya kasus Papua saja. Hoax merupakan tindakan tercela dan dapat merusak kepercayaan, sehingga penting bagi kita untuk menyampaikan suatu informasi dengan faktanya, jangan menerima informasi dengan mentah-mentah, maka dari itu mari perangi hoax.

2. Bagi masyarakat luas, yang dapat dilakukan saat ini adalah mempercayakan penanganan Papua kepada pemerintah. Masyarakat tidak perlu menyebarkan informasi-informasi yang tidak perlu apalagi yang bersifat provokatif, sebab tindakan tersebut dapat memecah belah persatuan dan kesatuan.

3. Stop ujaran rasisme dan menganggap rendah rakyat Papua, mereka adalah saudara kita, saudara setanah air. Buang jauh-jauh pemikiran bahwa diri kitalah yang paling baik, yang paling sempurna, paling superior. Kita semua sama dihadapan Tuhan, antara si kaya dan si miskin, si hitam dan si putih, si pintar dan si malas. 

4. Menyuarakan adanya toleransi terhadap sesama tanpa membeda-bedakan yang satu dengan lainnya, serta menuntut adanya transparansi terhadap pemerintah tanpa adanya kekeliruan saat media menyampaikan berita tentang rakyat Papua.

5. Mari menjaga Alam sekitar, jangan merusak dan membakar pohon hanya karena ingin membuka lahan pertanian atau pertambangan. Karena perbuatan tersebut dapat merusak ekosistem alam, bahkan tanpa kita sadari pun akan merugikan bagi kita. 

Permasalahan-permasalahan terkait rasa ketidakadilan, ketertinggalan, dan lainnya yang dianggap berbeda dengan provinsi lain di Indonesia harus diatasi dengan berbagai percepatan. Pembangunan Papua yang cukup besar dalam lima tahun terakhir harus terus dilanjutkan dengan meningkatkan peran dan partisipasi rakyat dan pemerintah yang lebih besar, terus adakan dialog kepada rakyat Papua, dengan pendekatan yang baik tentu rakyat Papua akan merasa diperhatikan martabat dan kesejahteraannya. Nilai kebudiluhuran yang dapat diambil adalah kita sebagai manusia harus menyadari apa itu artinya perbedaan, semua manusia ini berbeda secara fisik. Namun, hal ini tak menjadi penghalang dan menjadi suatu perpecahan. Sebab dihadapan Tuhan kita semua itu sama, tak ada yang lebih sempurna melainkan hanya Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna. Hidup saling menghargai dan bertoleransi adalah makna perbedaan yang sebenarnya. Semoga lekas membaik Papua, dan semuanya kembali menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Terima kasih, salam.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stadion Old Trafford

Biografi Mesut Özil

Baseball,pengertian dan sejarah nya